Selasa, 03 Maret 2015

Kendang Jimbe, Blitar

Kendang Jimbe: Dari Blitar Menembus Mancanegara
Berkunjung ke Blitar, belum lengkap rasanya bila tidak membawa oleh-oleh kendang yang satu ini. Bentuknya unik. Kendang jimbe, namanya. Sebenarnya, kendang unik ini kali pertama dibuat berdasarkan pesanan seseorang dari Desa Jimbe, di Kabupaten Blitar. Namun, pihak pembuat kendang yang tinggal di Desa Sentul, Kota Blitar, membikin dalam jumlah lebih bayak dari yang dipesan, kemudian dipasarkan sendiri.
Hasilnya, ternyata laku keras di pasaran, terutama di objek-objek Wisata. Lambat laun kendang yang berbahan baku kayu mahoni ini menjadi ciri khas Kota Patria (Blitar), dan dijuluki kendang jimbe, sesuai dengan nama desa asal pemesan pertama.
Kendang yang akhirnya menjadi ciri khas kota ini, dalam perkembangan produksi dan pemasarannya malah mampu menembus pasaran dunia. Di ekspor ke sejumlah negara. Seperti yang dikisahkan salah satu pemilik usaha perdagangan kendang jimbe, M. Sidik. “Kami sudah mengekspor ke beberapa negara, antara lain ke Mrerika, Australia, Afrika, dan Korea. Bahkan, pembeli dari Korea pernah datang sendiri ke sini,” ujarnya. Walaupun sekarang ekspor ke Korea boleh dibilang sudah banyak berkurang, namun kendang jimbe tetap eksis menembus pasar negara lain.
Bisnis kendang itu digeluti M. Sidik sejak lima tahun lalu hingga kini. Setiap bulan dia mampu mengepul sekitar lima ribu unit kendang jimbe, berbagai ukuran, mulai dari yang terkecil (12 cm) sampai ukuran sedang (70 cm). Mayoritas dipasokkan ke Bali. Mengapa Bali? Menurut istri M. Sidik, “Karena yang tahu pangsa pasar kerajinan adalah Bali, sekaligus lokasi berdatangannya turis asing dari berbagai negara.”
Berbeda dengan M. Sidik. Nur, perempuan yang juga menggeluti bisnis kerajinan ini, sudah empat tahun “menggarap” order kembang jimbe, baik dari dalam maupun luar negen. Nur malah sudah mampu mengekspor sekitar 10 ribu unit kendang jimbe dalam bebagai ukuran. “Ekspor terakhir kami kirim kemarin, mencapai sepuluh ribu kendang,” papar Hen, salah satu karyawan Nur.
Selain berbahan dasar kayu mahoni, kendang asal Kola Blitar ini juga menggunakan beberapa jenis bahan baku, antara lain kulit sapi dan tali. Kulit harus mereka datangkan dari Solo, Klaten, Magelang, dan Kediri. Tali pengikat kulit kendang ada tiga macam, meliputi tali sepatu, tali climbing, dan tambang (khusus untuk ukuran kendang besar).
Nur juga membuat barang kerajinan lain yang terbuat dari bahan dasar sama. Wujudnya, antara lain tempat lilin dan aneka macam mainan anak-anak. Khusus kendang jimbe mudah dijumpai di objek-objek wisata di Blitar, antara lain di kompleks Makam Bung Karno. Harganya pun relatif lebih murah, antara Rp 5 ribu-Rp 70 ribu, tergantung besar kecilnya produk.
GULUNG TlKAR
Kendala klasik dalan industri kecil kerajinan juga menghinggapi kalangan perajin kendang jimbe. Apa lagi kalau bukan Kendala permodalan. Bahkan, bagi perajin sekelas M. Sidik, kendala itu (permodalan) sekaligus juga momok. Maklum, sudah banyak perajin kendang jimbe yang gulung tikar karena “dibantai” problema modal. “Setelah beberapa tahun menggeluti bidang usaha ini, sekarang banyak perajin yang gulung tikar karena masalah dana (modal) ,” ujar Sidik.
Keberadaan koperasi ternyata tidak mampu membantu menanggulangi bencana permodalan. Dinas Perindustrian dan Perdagangan sudah mencoba berbagai cara untuk terus mengeksiskan keberadaan perajin kendang jimbe, termasuk melakukan pembinaan. Namun, tetap saja nol hasilnya. Harga bahan baku kayu yang cenderung terus naik juga menjadi kendala. Selain harga naik, kayu bahan baku pun semakin sulit didapat.
Sistem pengepulan seperti yang terjadi saat ini, menurut M. Sidik, juga membingungkan kalangan perajin yang masih terus mencoba bertahan. Pasalnya, sebelum gendang jimbe laku, para pengepul tidak bisa memberikan uang, dalam arti pembayaran tidak kontan. Hal itu menyulitkan perajin untuk terus memproduksi lagi. Sedangkan harga produk antar-perajin juga tidak ada kesepakatan. Jadi, siapa (perajin) yang menjual lebih murah, pasti lebih cepat laku. “Tidak adanya kesepakatan harga antar pengrajin membikin kami kebingungan, apalagi gendang jimbe ini sudah menjadi komoditas ekspor,” ujarnya. Sekarang, tinggal bagaimana mencari solusi yang terbaik bagi para perajin gendang jimbe agar tetap eksis. Ya, bagaimana Pak Walikota Blitar?•

2 komentar: